Bicara Milenial, Bicara Kesenjangan

Fatah, Muhammad Husni Abdul
9 min readApr 19, 2020

--

ini contoh aja, gambar diambil dari: https://karmaimpact.com/have-have-nots-news-group-examines-wealth-inequality-ahead-of-2020-elections/

Diulas oleh:

Muhammad Husni Abdul Fatah dan Muhammad Zaky Nur Fajar

Narasi ‘milenial’ sepertinya sedikit ‘bau’ dengan beberapa peristiwa minggu ini. Well, memang selama ini generasi milenial seringkali digambarkan sebagai masyarakat urban, founder dari sebuah start-up, entrepreneur, atau hal yang berhubungan dengan digital a.k.a unicorn, berpenghasilan tinggi, dan penggambaran lainnya yang sebenarnya mereduksi gambaran umum yang ada, dengan tidak melibatkan anak muda yang tinggal di pelosok, yang kehidupannya memiliki banayk keterbatasan.

Opini Raka Ibrahim di Asumsi.co mungkin menggambarkan keadaan yang bisa jadi ‘tepat’ soal milenial ini, yang umumnya kesuksesan mereka dinilai secara individualis, bukan kolektif. Milenial yang digambarkan ‘sukses’, seringkali menawarkan solusi yang tidak realistis. Intinya, masalah yang ada tidak dapat diselesaikan dengan iming-iming “sukses di usia muda? Kenapa tidak?” sedangkan kita semua tahu, terdapat perbedaan garis ‘start’ antara pemuda yang lahir dari keluarga yang kaya, banyak koneksi, dengan mereka yang terlahir dengan segala keterbatasan.

Opini tersebut ditutup dengan kalimat yang paling kami sukai: “Sekadar mengutuk kegelapan memang menjengkelkan, tetapi menyalakan lilin tak ada gunanya bila kita tidak pernah bertanya mengapa ruangan ini senantiasa gelap gulita.”

Nah, dalam tulisan kami kali ini, kami ingin menjelaskan bahwa perbedaan garis start itu memang riil dan sangat berdampak bagi sosial-ekonomi antar generasi, dan apa yang diperlukan setidaknya untuk mengurangi ‘barriers’ bagi mereka yang memiliki ‘start’ yang lebih jauh dari garis ‘finish’.

Tinjauan Teoritis

Dalam melihat masalah ketimpangan secara lebih baik, terlebih dahulu kita mesti memahami berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan tersebut, salah satunya adalah Intergenerational Transmission.

Secara harfiah Intergenerational Transmission ialah sebagai sebuah proses ketika status ekonomi yang dimiliki oleh seorang anak ketika dewasa memiliki kemiripan (baca: setara) dengan status ekonomi yang dimiliki oleh kedua orangtuanya (Naidu, Bowles, Carlin and Segal, 2017). Transmisi tersebut memiliki berbagai macam bentuk: harta warisan, tunjangan finansial, gen, serta metode pembelajaran yang ditanamkan oleh orang tua semisal norma-norma, pengetahuan, kemampuan, dan jaringan yang didapatkan di luar pendidikan formal.

Berbagai macam transmisi tersebut data digambarkan melalui sebuah diagram sebagai berikut:

Keluarga dengan kemampuan finansial yang lebih, umumnya memiliki latar belakang Pendidikan lebih baik. Ini mengakibatkan kualitas Pendidikan yang ditanamkan ke anak-anaknya bisa jadi jauh lebih baik. Kemampuan finansial ini membuahkan pemenuhan kebutuhan dengan kualitas yang sesuai, seperti kesehatan, Pendidikan, sehingga akan berpengaruh pada pendapatan anak ketika dewasa, terutama jika ditambah dengan warisan. (Leibowitz, 1974).

Bagaimana dengan nasib anak yang terlahir dalam keluarga dengan keadaan yang berbanding terbalik dengan ilustrasi di atas? Mereka akan memiliki pendapatan yang jelas berkontradiksi dengan “si kaya” dan terperangkap dalam keadaan yang terus miskin (poverty trap). Inilah mengapa diagram alur tersebut dapat dikatakan sebagai lingkaran setan. Perbedaan substansial diantara pendapatan anak ketika dewasa dengan latar belakang yang berbeda disebut sebagai intergenerational inequality (Samuel dan Hebert, 2003). Ukuran seberapa besar intergenerational inequality tersebut diistilahkan dengan sebutan intergenerational elasticity.

Untuk melihat sistematika analisis intergenerational elasticity, kami menciptakan perbandingan antara dua pasang anak dan ayah. Pasangan pertama memiliki tingkat kekayaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasangan kedua. Tingkat elastisitas ini mengukur seberapa kaya anak dari pasangan pertama ketika dewasa jika dibandingkan dengan pasangan lain. Ketika elastisitas menunjukan angka 0.7%, misalnya, hal ini menyiratkan bahwa jika sang ayah merupakan 10% orang terkaya di suatu negara, maka ketika dewasa sang anak akan termasuk ke dalam kelompok 7% terkaya.

Selain itu, derajat elastisitas antar generasi ini dapat pula menyimpulkan sebuah fenomena mobilitas antar generasi dengan perubahan dalam status sosial ekonomi di antara orang tua dan anak. Mobilitas ke atas terjadi manakala anak memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuanya. Mobilitas ke bawah menunjukan bahwa status sosial ekonomi anak “turun kasta” dari orang tua mereka sebelumnya (Naidu, Bowles, Carlin and Segal, 2017). Elastisitas antar generasi yang semakin besar menunjukan bahwa kekuatan mobilitas antar generasi menjadi semakin rendah. Hal ini dapat pula menjadi sebuah sinyal bahwa ketimpangan semakin curam, seperti keadaan poverty trap yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya.

Korelasi antara berbagai aspek di atas dapat ditinjau melalui pendekatan The Great Gatsby Curve (Miles Corak, 2013). Kurva ini menunjukan hubungan yang positif antara elastisitas antar generasi dengan tingkat ketimpangan di dalam pendapatan yang diasosiasikan dengan koefisien gini. Kurva ini menghilangkan pengaruh interevensi pemerintah seperti pajak dan transfer payment¸menurut kami ini bertujuan agar ketimpangan ini dilihat secara ceteris paribus.

Berdasarkan kurva di atas, dapat terlihat bahwa negara yang memiliki intergenerational elasticity yang rendah cenderung memiliki koefisien gini yang rendah, begitupun sebaliknya. Kita mengetahui bahwa negara-negara sosial-demokrat atau yang lebih dikenal dengan istilah welfare state di wilayah Skandinavia memiliki kultur keadilan yang kuat, kualitas Pendidikan yang setara, kesehatan terjamin, tanpa mengenal status ekonomi penduduknya.

Di sisi lain, negara penganut sistem neo-liberal semisal Amerika Serikat memiliki tingkat ketimpangan dan elastisitas antar generasi yang lebih besar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena kekayaan yang dimiliki seseorang didapatkan melalui “keberuntungan” apakah terlahir dari keluarga miskin atau kaya yang kelak menentukan kesempatan dalam mengakses human capital enhancer.

The Great Gatsby Curve tersebut baru memperlihatkan hubungan ketimpangan dilihat dalan sisi pendapatan. Jika kita menilik lebih jauh lagi, ketimpangan akan semakin parah jika tolak ukur dari ketimpangan tersebut diukur dalam bentuk akumulasi kekayaan. Mengapa demikian?

Dengan perspektif teori konsumsi, orang dengan pendapatan yang rendah cenderung memiliki MPC yang tinggi, sedangkan orang dengan penghasilan yang tinggi cenderung memiliki MPC yang rendah. Hal ini dikarenakan kemampuan menabung masyarakat golongan atas lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah, disebabkan karena semua pendapatannya hanya mampu membiayai kehidupan sehari-hari.

Ini mengkhawatirkan, karena sejatinya kekayaan merupakan akumulasi dari tabungan yang dapat dikonversi menjadi aset-aset yang mampu memberikan pendapatan pasif. Pendapatan pasif inilah yang membuat ketimpangan semakin dalam

What’s Happen in Indonesia:

Di Indonesia ini ketimpangan itu memang nyata. Dalam laporan “Indonesia Rising Divide” dari World Bank (2015), menjelaskan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 20% penduduk terkaya. Ketimpangan ini terus meningkat. Pada 2002, 10% terkaya memiliki porsi konsumsi yang setara dengan 42% termiskin. Pada 2014, meningkat menjadi 54%. See? It’s real.

Bagaimana soal mobilitas sosial di Indonesia? Apakah elastisitas antargenerasi tinggi, sehingga mobilitas sosial rendah atau justru sebaliknya? berdasarkan penelitian SMERU Institute: ““Effect of Growing Up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia” menyiratkan tidak terjadinya mobilitas sosial secara luas bagi anak-anak yang dahulu terjebak miskin. Bentuk penelitian jangka panjang ini menghasilkan beberapa bukti empirik bahwa, mereka yang semasa kecilnya (8–17 tahun) mengalami kemiskinan, akan memiliki upah perjam 87% lebih rendah ketimbang yang tidak.

Sebuah Working Paper yang berjudul “Destined for Destitution: Intergenerational Poverty Persistence in Indonesia” dari SMERU Institute menyiratkan bahwa jebakan itu benar adanya. Berdasarkan perhitungan ekonometrikanya, anak yang tumbuh dari rumah tangga yang miskin kronis, memiliki probabilitas untuk kembali miskin di masa dewasanya sebesar 35%. Ini menyiratkan bahwa di Indonesia intergenerational inequality memiliki elastisitas yang tinggi, sehingga mobilitas sosial rendah.

“Menambal Lubang, Mempersempit Disparitas”

Sebagian besar kemiskinan di Indonesia merupakan buah dari ketidakmampuan sistem sosial ekonomi yang ada, dalam menyediakan kesempatan yang memungkinkan masyarakat dengan latar ekonomi rendah untuk bekerja dan bersaing dengan orang yang memiliki latar belakang.

Disparitas yang terjadi di antara kaum muda elit dengan generasi milenial lain dibawahnya tidak bisa hanya diselesaikan dengan berbagai macam celotehan inspirasi yang membangun motivasi, karena sejatinya kemiskinan struktural yang ada bukan disebabkan oleh keengganan mereka untuk bekerja dan berusaha, namun karena memang generasi milenial yang tidak memiliki “keberuntungan” lahir dalam keluarga kaya memiliki hambatan serta start awal yang jauh di belakang muda-mudi elit tersebut.

Permasalahan struktural sudah semestinya diselesaikan dengan membenahi struktur sosial ekonominya tersebut (Cameron, 2014). Ekonomi dapat diibaratkan sebagai jalan dengan garis finish nya, yaitu kemakmuran. Namun, ternyata jalan tersebut penuh dengan lubang yang menghambat seseorang untuk mencapai finish, terlebih lagi seseorang yang jatuh dan terjebak di dalam lubang tersebut.

Lubang disini merupakan permisalan sebuah permasalahan struktural dengan orang yang terjebak sebagai kalangan miskin. Untuk menolong orang tersebut, tidak cukup dengan meneriaki mereka dengan kata-kata penuh dengan pesan semangat, namun yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar lubang-lubang tersebut ‘ditambal’.

Dalam upaya menghilangkan lubang-lubang tersebut, terdapat berbagai macam cara yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu redistribusi dan juga predistribusi. Redistribusi merupakan kebijakan pemerataan pendapatan yang ditempuh menggunakan fiscal policy, seperti penerapan pajak, khususnya pajak progresif dan juga transfer payment bagi masyarakat kurang mampu.

Dalam jangka pendek memang kebijakan ini berefek cukup signifikan, namun jika ditelisik lebih jauh kebijakan redistribusi ini mampu menciptakan moral hazard bagi tertanggung (Nyman, 2001). Hal ini jelas merupakan sebuah ancaman, karena dengan adanya moral hazard justru akan mereduksi semangat bekerja karena merasa telah ditanggung oleh pemerintah.

Oleh karena itu, solusi yang dapat mengentaskan ketimpangan dalam jangka waktu yang lebih lama dan pastinya meminimalisir adanya kegagalan pasar, seperti moral hazard adalah kebijakan predistribusi. Kebijakan ini dapat ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti mempermudah dan menstandarisasi serta memberikan fasilitas yang sama bagi seluruh akses pendidikan dan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada tingkat produktivitas yang semakin baik.

Pemerintah juga dapat melakukan kebijakan yang menghilangkan segementasi pasar (rent seeking) dan diskriminasi terhadap pekerja, sehingga mampu mengurangi adanya principal-agent problem. Pemangku kebijakan juga harus membenahi kerangka dasar struktur kelembagaan. Hal tersebut dapat ditegakkan melalui kerangka hukum di mana pengusaha, bank, karyawan, serikat pekerja, peminjam, dan pelaku ekonomi utama lainnya berinteraksi.

Dengan mengatur regulasi, pemerintah juga dapat mengubah hak properti mana yang harus dilindungi, misalnya melarang perbudakan dan melegalkan serikat pekerja, sehingga bargaining power seperti penetapan upah minimum yang dimiliki oleh pekerja menjadi semakin kuat yang nantinya akan mengurangi ketimpangan. Bagi kaum neo-liberal, upah minimum merupakan sebuah hambatan bagi terselenggaranya investasi yang berujung pada pengangguran, namun penelitian yang dilakukan oleh Dube, et al. (2010) memperlihatkan bahwa meningkatkan upah minimum memiliki sedikit dampak negatif terhadap pengangguran dan justru meningkatkan rata-rata pendapatan pekerja miskin.

Akhir Kata:

Narasi milenial, tidak dapat direduksi secara parsial, sebagaimana yang hari ini terjadi. Yang perlu digaris-bawahi: Terdapat perbedaan garis ‘start’ antara mereka yang terlahir dari keluarga yang ‘kaya/berkecukupan’ dengan mereka yang terlahir ‘miskin/keterbatasan’.

Di Indonesia ini, intergenerational inequality itu riil, dan memang banyak sekali yang terhalang dengan ‘lubang-lubang’ penghalang kesejahteraan. Untuk menambal ‘lubang-lubang’ tersebut, solusi yang ditawarkan ialah predistribusi, yakni dengan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan berkualitas baik yang merata, sehingga meningkatkan produktifitas yang ada.

Akan ada banyak perspektif dan pandangan soal masalah ini. Tidak mengapa, toh tesis yang kami kemukakan nantinya akan menemukan antitesis, dan keduanya akan menjadi sintesis. Jika pertanyaan dibawah mulai terjawab, lantas apa yang dapat kita lakukan?

“Sekadar mengutuk kegelapan memang menjengkelkan, tetapi menyalakan lilin tak ada gunanya bila kita tidak pernah bertanya mengapa ruangan ini senantiasa gelap gulita.”

Daftar Pustaka:

Gregory Clark. 2015. The Son Also Rises: Surnames and the History of Social Mobility. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Miles Corak. 2013. ‘Inequality from Generation to Generation: The United States in Comparison.’ In The Economics of Inequality, Poverty, and Discrimination in the 21st Century, edited by Robert S. Rycroft. Santa Barbara, CA: Greenwood Pub Group

Wen-Hao Chen, Michael Förster, and Ana Llena-Nozal. 2013. ‘Globalisation, Technological Progress and Changes in Regulations and Institutions: Which Impact on the Rise of Earnings Inequality in OECD Countries?’ Working Paper Series 597. LIS.

Arindrajit Dube, T. William Lester, and Michael Reich. 2010. ‘Minimum Wage Effects across State Borders: Estimates Using Contiguous Counties’. Review of Economics and Statistics 92 (4): pp. 945–64.

James J. Heckman. 2013. Giving Kids a Fair Chance. Cambridge, MA: MIT Press.

Leibowitz, A. (1974). Home Investments in Children. Journal of Political Economy, 82(2), S111-S131. Retrieved April 19, 2020, from www.jstor.org/stable/1829995

Naidu, S., Bowles, S., Carlin, W., and Segal, P. 2017. ‘Accidental of Birth: Another Lens to Study Inequality’. [online] The Economy. Available at: http://www.core-econ.org. [ (19 April 2020)].

Jr, Yus & Suryadarma, Daniel & Suryahadi, Asep. (2009). Destined for Destitution: Intergenerational Poverty Persistence in Indonesia. SSRN Electronic Journal. 10.2139/ssrn.1531697.

“World Bank. 2016. Indonesia’s Rising Divide. World Bank, Jakarta. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/24765 License: CC BY 3.0 IGO.”

Rizky, M., D. Suryadarma, and A. Suryahadi. 2019. Effect of Growing Up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia. ADBI Working Paper 1002. Tokyo: Asian Development Bank Institute. Available: https://www.adb.org/publications/effect-growing-poorlabor-market-outcomes-evidence-indonesia

Nyman, J., & Maude-Griffin, R. (2001). The Welfare Economics of Moral Hazard. International Journal of Health Care Finance and Economics, 1(1), 23–42. Retrieved April 19, 2020, from www.jstor.org/stable/3528845

Murray, C. (2014). Structural vs individual poverty theories: A Comment. Retrieved 18 April 2020, from https://www.fresheconomicthinking.com/2014/07/structural-vs-individual-poverty.html

--

--