Catatan Akhir Tahun: Kekerasan Seksual, dan Kriminalitas Ekonomi

Fatah, Muhammad Husni Abdul
6 min readDec 15, 2020

--

Mungkin jika yang mulia pengambil kebijakan masih mengabaikannya, kayaknya butuh justifikasi ekonomi deh biar ke’trigger’ ama cuan-cuan nya.

Kejadian dikeluarkannya (baca: dibuang) RUU PKS dari prolegnas 2020 tentu menimbulkan beragam pertanyaan dan kekecewaan di tengah masyarakat. Pembahasan yang sulit, dijadikan sebuah alasan bagi DPR saat publik bertanya-tanya mengapa RUU ini justru dikeluarkan dari prolegnas (Maharani, 2020). Anehnya, RUU Omnibus Law yang tiadk masuk prolegnas justru disahkan. Hah gimana-gimana?

Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019, menyebutkan bahwa syarat sebuah RUU diluar prolegnas diajukan adalah untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang. Akan tetapi, syarat “keadaan tertentu lainnya” ini menurut Ichsan (dalam Hidayat, 2020), memerlukan parameter dan tafsir yang jelas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir.

Barangkali RUU ini tidak menjadi sebuah prioritas karena memang pemerintah dan parlemen tidak melihat RUU ini sebagai sebuah agenda pembangunan. Bahkan dalam salah satu agenda pembangunan RPJMN 2020–2024, yakni “Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas dan Berdaya Saing”, sama sekali tidak menyebutkan RUU ini sebagai salah satu kebutuhan regulasi.

Padahal, kekerasan seksual ini memiliki dampak yang justru menjadi hambatan dalam upaya meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia.

Dalam kajian ini, penulis berusaha membuktikan bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu aspek penting yang perlu didiskusikan dalam rangka pembangunan. Kajian ini berusaha membuktikan bahwa kekerasan seksual merupakan sebuah kriminalitas ekonomi, yang memiliki dampak ekonomi jangka panjang. Adanya kekerasan seksual, bisa menjadi batu terjal bagi pertumbuhan ekonomi, produktivitas, hingga efisiensi ekonomi.

Estimasi Biaya Kerugian Akibat Kekerasan Seksual

Sebagai gambaran umum dampak kekerasan seksual, studi awal di kota Minnesota dapat menjadi gambaran awal. Bahwa kekerasan seksual yang terjadi menimbulkan kerugian sebesar $8 Miliar pada 2005. biaya kerugian dari tiap kekerasan seksual, diestimasikan sebesar $184,000 bagi penyintas yang masih berusia dini (anak-anak), dan $139,000 bagi penyintas yang sudah dewasa. Kerugian tersebut berasal dari biaya perawatan medis dan perawatan kesehatan mental bagi para penyintas, kehilangan pekerjaan, dan isu-isu terkait kualitas kehidupan lainnya (Minnesota Department of Health, 2007).

Pada 2005, negara bagian Minnesota menghabiskan sebanyak $130 juta sebagai pengobatan dan kurungan bagi pelaku kekerasan seksual dan menghabiskan $90 juta untuk biaya medis dan perawatan lainnya bagi para penyintas. Biaya-biaya tersebut juga termasuk kerugian yang terjadi setelah kekerasan terjadi, seperti penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak direncanakan, bunuh diri, dan penyalahgunaan zat (Minnesota Department of Health, 2007).

Untuk memahami bagaimana dampak kekerasan seksual dalam ekonomi, digunakan dua pijakan teori, yakni trauma theory and assets theory. Trauma Theory menggambarkan bahwa banyak biaya dan konsekuensi datang terkait dengan post-traumatic symptoms (Loya, 2012). Seperti adanya depresi, yang membuat penyintas perlu datang ke psikolog dan menambah biaya medis, hingga mendisrupsi kemampuan penyintas untuk produktif.

Lebih lanjutnya, potensi konsekuensi ekonomi yang diakibatkan oleh kekerasan seksual, dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tabel 1. Potensi konsekuensi ekonomi bagi individu sebagai akibat kekerasan seksual (Loya, 2012), diolah kembali

Miller dkk (1996) mengestimasikan bahwa tiap terjadi kekerasan seksual (termasuk pelecehan terhadap anak), maka kerugian ekonomi ditaksir mencapai $87,000; $5,100 merupakan tangible losses (seperti kehilangan produktivitas, biaya perawatan medis, pelayanan aparat keamanan) dan $81,400 dalam berkurangnya kualitas hidup.

Pada dasarnya, dampak ekonomi yang dirasakan oleh penyintas adalah bertambahnya pengeluaran, dan efek pada ketenagakerjaan & pendapatan (Loya, 2015). Menjadi penyintas kekerasan seksual, sangat memberatkan penyintas dalam mengatur arus kas keuangannya, beragam pengeluaran menjadi bertambah. Sebuah studi kualitatif oleh Loya (2012) mewawancarai secara terbuka sembilan (9) penyintas dan 19 penyedia layanan kesehatan. Wawancara tersebut menghasilkan temuan terkait aliran pengeluaran, seperti untuk perawatan medis hingga transportasi (semisal memutuskan untuk mengganti moda transportasi, menghindari kejadian berulang).

Beyond the Imbalance of Power

Salah satu penyebab adanya kekerasan seksual, ialah terdapat timpangnya relasi kuasa laki-laki dan perempuan (Cox, 2018). Ide mengenai ‘ketimpangan’ ini, juga ada bagi penyintas kekerasan seksual yang kepemilikan aset bagi mereka, berdampak pada recovery yang mereka alami. Hal ini berkaitan dengan Assets Theory yang sudah disebutkan sebelumnya.

Teori ini mengemukakan bahwa kepemilikan terhadap aset, berperan dalam penting dalam meredam guncangan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, perceraian, dan biaya-biaya medis lainnya (Sherraden, 1991). Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terjadinya kekerasan seksual, bisa menyebabkan adanya economic shock bagi penyintasnya. Seperti adanya biaya medis tambahan, psikologi, hingga kerugian jangka panjang seperti berkurangnya produktivitas akibat trauma yang dialami penyintas.

Loya (2015) menemukan bahwa kepemilikan aset, seperti liquid assets, dukungan finansial dari keluarga, dan kepemilikan tempat tinggal memiliki dampak positif terhadap pemulihan pasca-kejadian bagi penyintas kekerasan seksual. Adanya liquid assets seperti simpanan, saham, dan obligasi menawarkan fleksibilitas dan memudahkan bagi penyintas untuk menutup pengeluaran langsung, meredam guncangan ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan dan biaya darurat.

Sedangkan adanya dukungan finansial dari keluarga, atau teman seperti membantu biaya sewa, atau menawarkan ‘ruang aman’ untuk tempat tinggal merupakan aset yang berharga. Salah satu sumber wawancara Loya (2015) mengemukakan bahwa bantuan finansial dari keluarga atau teman selain membantu dalam memenuhi biaya-biaya tambahan, juga membuat dirinya merasa berharga, dan hal ini membuat proses pemulihan lebih baik.

Bentuk aset terakhir, yakni kepemilikan tempat tinggal bagaikan ‘pedang bermata dua.’ Dalam wawancara, narasumber Loya (2015) menyebutkan bahwa kepemilikan tempat tinggal dapat berdampak baik bagi penyintas, seperti adanya ‘ruang aman’. Akan tetapi kasusnya bisa berbeda jika kekerasan terjadi di rumah penyintasnya. Karena tempat tinggal tersebut terkesan menyimpan trauma, dan ini mengarah pada pengeluaran tambahan jika penyintas memutuskan berpindah tempat tinggal, demi menghindari dari trauma yang dialaminya.

Meskipun kekerasan seksual dapat terjadi, tidak mengenal gender, kekayaan, suku, ras, dan agama, dampak yang dialami oleh penyintas bisa saja berbeda bagi mereka yang memiliki sumberdaya finansial terbatas (Loya, 2015) atau menjadi kaum minoritas (Loya, 2012). Bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam finansial, yakni aset, akan mengalami menderita lebih besar, karena dihadapkan untuk memenuhi biaya lebih yang sebelumnya disebutkan. Sedangkan bagi minoritas, ketimpangan yang ada terasa pada akses pada layanan yang ada. Diskriminasi, stigma, bisa menjadi cobaan tambahan bagi penyintas.

Konteks Indonesia

Dalam menuliskan kajian ini, masih terdapat research gap, terutama dalam hal data empirik di Indonesia. Akan tetapi, data yang disebutkan sebelumnya dapat menjadi gambaran bagaimana kekerasan seksual dapat berdampak secara ekonomi. Maka dari itu, jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan produktivitas ketenagakerjaan, isu kekerasan seksual ini perlu menjadi perhatian lebih.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, menurunnya produktivitas hingga meningkatnya pengeluaran merupakan sebuah ‘ongkos’ mahal yang harus dibayar oleh penyintas. Oleh karena itu, kebijakan terkait pemulihan, penyuluhan, dan pemenuhan hak-hak korban perlu diterapkan, sebagaimana yang tercantum di RUU PKS.

Terakhir, pengambil kebijakan harus sadar bahwa kekerasan seksual ini, memiliki kaitan dalam pembangunan. Jika pemerintah, pengambil kebijakan, perancang kebijakan, dan parlemen berambisi terhadap pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan, hingga proktifitas, maka kekerasan seksual perlu dilihat sebagai kriminalitas ekonomi, yang menyebabkan ambisi tersebut terhambat.

Hah gimana-gimana? Omnibus Law di-sah-kan tapi RUU PKS di skip?

Referensi

Cox, E. (2020, May 19). #MeToo is not enough: It has yet to shift the power imbalances that would bring about gender equality. Retrieved November 13, 2020, from https://theconversation.com/metoo-is-not-enough-it-has-yet-to-shift-the-power-imbalances-that-would-bring-about-gender-equality-92108

Hidayat, R. (2019, October 18). Pengajuan RUU di Luar Prolegnas Butuh Parameter yang Jelas. Retrieved November 13, 2020, from https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5da979bacafca/pengajuan-ruu-di-luar-prolegnas-butuh-parameter-yang-jelas/

Loya, R. M. (2012). Economic consequences of sexual violence for survivors: Implications for social policy and social change (Doctoral dissertation, Brandeis University, 2012). Ann Arbor, MI: Proquest LLC.

Loya, R. M. (2014). Rape as an Economic Crime: The Impact of Sexual Violence on Survivors’ Employment and Economic Well-Being. Journal of Interpersonal Violence, 30(16), 2793–2813. doi:10.1177/0886260514554291

Loya, R. M. (2015). A Bridge to Recovery: How Assets Affect Sexual Assault Survivors’ Economic Well-Being. SAGE Open, 5(1), 215824401557396. doi:10.1177/2158244015573966

M. (2007). Cost of Sexual Violence in Minnesota. Retrieved November 13, 2020, from https://www.health.state.mn.us/communities/injury/pubs/documents/svcosts.pdf

Maharani, T. (2020, June 30). Komisi VIII Usulkan RUU PKS Dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 (1051018088 802693801 D. Meiliana, Ed.). Retrieved November 13, 2020, from https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/15161681/komisi-viii-usulkan-ruu-pks-dikeluarkan-dari-prolegnas-prioritas-2020?page=all

Sherraden, M. W. (1991). Assets and the poor a new American welfare policy. Armonk, NY: Sharpe. doi:10.4324/9781315288376

--

--