Financing Technological Progress: Who Should be ‘Angels’?

Fatah, Muhammad Husni Abdul
9 min readMar 7, 2021

--

Photo by Science in HD on Unsplash

Sebagai Team #HanJiPyeong, tentu saja saya cukup kecewa dengan akhir dari serial Start-up. Bagi saya, Han Ji-pyeong yang telah menjadi menemani Seo Dal-mi sedari kecil melalui surat-suratnya, menjadi good boy bagi sang nenek, sangatlah pantas mendapatkan Dal-mi ketimbang Nam Do-san. Namun entah kenapa, di akhir serial justru ditayangkan gambar yang menyiratkan bahwa Dal-mi berakhir Bahagia dengan Do-san. Si*l.

Memang, Ji-pyeong sangatlah payah dalam mendekati Dal-mi (ok, now I pretend to be right) ketimbang dengan Do-san as first mover. Akan tetapi, jangan lupa bahwa Ji-pyeong adalah anak yatim, dengan insekuritas yang tinggi, yang diakibatkan oleh permasalahan strukturalnya (wait, so now I’m being leftist?)

Meski cukup kecewa dengan kisah roman yang ditawarkan, karakter Ji-pyeong sebagai angel investor dari Venture Capital ternama cukup mencuri perhatian. Ji-pyeong digambarkan sebagai angel, yang memberikan suntikkan dana bagi start-up (perusahaan rintisan) agar mereka dapat berkembang. Peran angel sangat krusial bagi perusahaan rintisan. Tanpa diberikan dana, belum tentu start-up dapat berkembang. Oleh karenanya, pendanaan sangat penting.

Start-up kini dikenal identik dengan pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi sendiri berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Secara matematika, terdapat korelasi positif antara perkembangan teknologi dengan pertumbuhan ekonomi di jangka panjang. Meski demikian, tantangan-tantangan terbesar yang dialami dalam mengembangkan teknologi juga tak berbeda dengan start-up di sand box, yakni: “uang nya darimana?” dan “siapakah angel-nya?”

The Nature of Technological Progress

Sebelum membahas sumber pendanaan dari adanya teknologi, kita perlu memahami terlebih dahulu, Bagaimana teknologi berkembang, dan apa implikasinya pada pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi: seperti penemuan mesin uap, bola lampu, microchip, atau penemuan struktur DNA lahir dari proses panjang (dan membosankan) yakni research and development.

Yap, entah mengapa ada orang yang mau berjam-jam berada di dalam lab atau perpustakaan, melakukan uji coba, dan sebagainya. Meskipun demikian, hasil yang dikeluarkan proses tersebut memiliki peranan penting tak hanya bagi perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi, namun juga kemajuan umat manusia.

Kok bisa? Mari kita bayangkan dampak dari penemuan bola lampu oleh Thomas Alva Edison. Edison menciptakan bola lampu tersebut, dan kemudian mendemonstrasikannya ke hadapan publik, di Menlo Park 1879. Penemuan tersebut, kemudian berujung hingga ekspansi dan ‘persaingan akbar’ antara Edison dengan Westinghouse dalam rangka ‘menerangi’ malam gelap Amerika.

Cumberbatch as Edison (2017)

Terkait dengan persaingan tersebut, saya jadi teringat dengan adegan-adegan di The Current War (2017). Ketika Edison (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) dan Westinghouse (diperankan oleh Michael Shannon) saling berlomba mengekspansi temuan lampunya dengan meningkatkan kapabilitas produknya untuk ‘menerangi’ kota-kota di Amerika. Westinghouse menjadi merasa sangat tersaingi saat Edison berhasil menerangi kota New York, begitu juga sebaliknya saat Westinghouse mendahului Edison di Masachusetts.

Dari peristiwa-peristiwa tersebut, penemuan bola lampu oleh Edison, kelak mengantarkan pada ‘perangnya’ dengan Westinghouse, dalam rangka menerangi kota-kota di Amerika Serikat di malam hari. Penemuan bola lampu mungkin terasa simpel, namun cobalah melihat pada jangka panjang. Penemuan bola lampu, memberikan kesempatan lebih bagi masyarakat untuk bisa lebih produktif di malam hari untuk bekerja hingga belajar, dan pada akhirnya perkembangan umat manusia menjadi lebih cepat, dan pesat.

Oleh karena itu, perkembangan teknologi menjadi sebuah katalisator, atau mungkin akselerator dari pertumbuhan ekonomi. Maka tak heran jika berbagai studi menunjukkan adanya korelasi antara besaran nilai alokasi anggaran R&D dengan pertumbuhan PDB. Akcali dan Sismanoglu (2015), menemukan bahwa kenaikan 1% dari belanja R&D akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi 1% di negara-negara maju. Sedangkan bagi negara berkembang, persentase lebih kecil ditemukan berupa: 0,3%, 0,4%, dan 0,62%.

Dengan implikasinya yang besar pada perekonomian, tak heran banyak negara dan perusahaan mengalokasikan anggarannya untuk R&D, tentu saja dengan alasan meningkatkan profit. Dengan meningkatkan pengeluaran pada R&D, perusahaan dapat meningkatkan probabilitasnya untuk menemukan dan mengembangkan produk terbaru yang manakala sukses, maka akan menghasilkan profit tambahan.

Namun kalau dipikir-pikir, meski alasannya hanya untuk itu, mengapa perusahaan tidak membeli mesin baru saja, alih-alih mengeluarkan biaya yang bersifat tidak pasti pada proses R&D?

Karena terdapat perbedaan penting antar keduanya. Blanchard (2017) menyebutkan bahwa perbedaan mendasar terdapat pada keluaran R&D yang pada dasarnya adalah ide/gagasan. Berbeda dengan mesin, sebuah gagasan yang ditemukan, dapat menyebar dan digunakan oleh banyak perusahaan pada waktu yang sama. Dengan ini, perkembangan inovasi menjadi bersifat eksponensial, tidak linear. Sejalan dengan impliksi penemuan bola lampu, yang membuka peluang bertambahnya produktifitas, hingga pertumbuhan ekonomi sebagaimana temuan Akcali dan Sismanoglu.

Bagaimana mekanisme terbaik untuk membiayai inovasi dan pengembangan teknologi? Perlu diketahui bahwa agar riset dan pengembangan berhasil, dibutuhkan interaksi yang baik antara basic research dan applied research. Basic research itu sendiri secara tidak langsung akan menciptakan perkembangan teknologi, akan tetapi kesuksesan applied research dan pengembangannya (yang kelak menciptakan temuan terbaru) sangat bergantung dengan kesuksesan basic research (Blanchard, 2017).

Gambarannya sebagai berikut: applied research dari perancangan computer ialah menciptakan microchip, dan software-nya. Sedangkan untuk menciptakan itu semua butuh menciptakan kode enkripsi dari rumus matematika. Kode enkripsi tersebut ialah bagian dari basic research. Begitulah kaitannya

The Public-Private Myth, and its footprints

Kini kita mulai masuk ke inti tulisan? Bagaimana cara untuk membiayai inovasi dan pengembangan teknologi? Yang kelak akan menciptakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ini permasalahan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kita boleh berandai-andai soal bagaimana masa depan nanti. Akankah jalanan dipenuhi oleh kendaraan listrik? Atau, bisakah kita liburan ke Mars tiap libur natal atau lebaran? Dan mungkinkah kita menciptakan kota secanggih Tokyo-III di anime Evangelion?

Ngomong-ngomong soal pembiayaan teknologi, kita perlu memahami seperti apa kebutuhan finansial diperlukan untuk membiayai inovasi dan teknologi. Inovasi bersifat tidak pasti, berjangka panjang, kolektif, dan kumulatif (Mazzucato dan Semineiuk, 2017). Empat karakteristik tersebuth menggambarkan bagaimana bentuk finansial yang diperlukan.

Lebih lanjut, Mazzucato dan Seminejuk menjelaskan bahwa ketidakpastian, bermakna bahwa pembiayaan harus mampu menanggung resiko tinggi. Sifat inovasi yang berjangka panjang, dan kumulatif menggambarkan bahwa inovasi membutuhkan bentuk pembiayaan yang telaten, dan sifat kolektif berarti sumber pembiayaan tidak hanya dari satu tipe pembiayaan, melainkan beragam sumber, seperti dari publik, privat, atau bentuk kolaborasi keduanya.

Nah, sebenarnya banyak sekali rancangan model pembiayaan inovasi. Seperti public-private partnership yang mana swasta yang mendanai, pemerintah yang meregulasikan, atau model triple-helix ala Singapore yang menjembatani antara akademisi, swasta, dan pemerintah. Tapi sebenarnya, selama ini siapakah yang benar-benar menjadi angels?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat footprints dari berbagai revolusi teknologi sebelumnya (bioteknologi, nanoteknologi, energi terbarukan, etc) yang mana pendanaan publik ternyata berperan esensial dalam menyediakan pendanaan diawal pengembangan, dan yang beresiko-tinggi (Mazzucato, 2013). Tak hanya itu, pendanaan tersebut rupanya memiliki orientasi terhadap misi (semisal mengirimkan manusia ke bulan? Kebutuhan ketahanan pangan?) sehingga secara aktif membentuk lanskap industri yang tidak pernah ada sebelumnya (Mowery, 2013).

Sebagaimana ilustrasi berikut ini:

Mazzucato (2013) diadaptasi dari Auserswald dan Branscomb (2003)

Dari gambar ini sudah jelas, bahwa pemerintah sangat berperan menjadi angels terutama diawal perkembangan riset. Peran tersebut diwakili oleh lembaga-lembaga kunci dalam lanskap inovasi AS seperti DARPA, NASA, NSF (National Science Foundation), NIH (National Instutute of Health), dan beberapa lainnya ialah perusahaan. Barulah ketika sudah menjadi sebuah penemuan, dan tahap awal pengembangan teknologi, hingga produksi massal, sektor privat (seperti perusahaan besar, venture capital, bla bla bla) masuk ke dalam Innovation chain. Yakni saat produk sudah menemui validasi dari pasar.

Contohnya, guaranteed government loan secara umum digunakan untuk pump prime companies, macam Tesla yang menerima $465 Juta dari departemen Energi AS untuk produksi Model S-nya.

Begitu pula dengan industri bioteknologi, yang kini memang sedang ramai diperbincangkan karena perannya dalam membuat vaksin covid-19. Perusahaan seperti Moderna dan Pfizer mendapatkan bantuan pendanaan awal justru dari Pemerintah pada 1950an dan 1960an dalam skala besar. Barulah pada akhir 1980an dan awal 1990an venture capital masuk pada industri tersebut (Lazonick dan Tulum, 2011).

Atau contoh lain adalah program SBIR (Small Business Innovation Research) dari Pemerintah AS, yang secara historis lebih banyak membantu menyediakan early-stage high risk finance untuk perusahaan kecil-menengah, ketimbang private venture capital, contoh penerimanya adalah Compaq dan Intel.

Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan peran SBIR dengan Venture Capital, dalam hal hibah:

Mazzucato dan Semieinuk (2013)

See the difference?

Beyond the Mainstream

Untuk menciptakan lanskap baru pengatahuan, menjadi technological frontier, and also a sustainable financing for technological progress, diperlukan perubahan paradigma terkait peran pemerintah. Paradigma ekonomi neoklasik, yang menyatakan bahwa pasar akan memberikan equilibrium terbaik, pada akhirnya hanya menjustifikasikan intervensi pemerintah sebatas saat terjadi market failures, dan pada akhirnya pemerintah yaaaa paling cuman jadi market fixing doang.

And yap, as Mazzucato said: the recent history of capitalism depicts a different story.

Dalam perjalanannya, pemerintah rupanya gak sebatas mampu memperbaiki pasar saja, namun juga menciptakan pasar, sistem yang berkenaan dengan penciptaan kesejathereaan, tidak hanya redistribusinya. Inilah yang disebut sebagai The entrepreneurial state: the state as lead risk-taker and investor in the economy.

Instead of fixing markets, the state can co-creating markets.

Not only de-risking the failure, but also welcoming uncertainty

Inilah yang dilakukan oleh pemerintah AS, melalui gambling-nya di industri bioteknologi. Perlu dicatat juga bahwa perusahaan/bisnis tak akan masuk pada sebuah indutri tanpa adanya dorongan ekspektasi masa depan. Lantas jika hal tersebut terjadi? Siapakah yang membiayai penelitian dan penemuan-penemuan teknologi? Based on the footprints: The state.

Semua pembiayaan tersebut pun dilakukan bukan tanpa arah, melainkan memiliki target yang jelas. Yakni menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat, atau untuk kemanfaatan umat manusia secara luas. Lebih jelasnya, mungkin kita perlu melihat contoh dari pernyataan misi dan implikasinya pada perkembangan IT:

NASA: to ‘Drive advances in sciences, technology, aeronautics, and space exploration to enhance knowledge, education, innovation, economic vitality, and stewardship of Earth

‘Creating breakthrough technologies for national security is the mission of the Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA)

‘NIH’s mission is to seek fundamental knowledge about the nature and behavior of living systems and the application of that knowledge to enhance health, lengthen life, and reduce illness and disability’.

Meski lembaga-lembaga ini memiliki berbagai misi yang berbeda dan terdesentralisasi, teknologi yang diciptakan dari lembaga-lembaga ini berhasil menciptakan lanskap industri dan teknologi terbaru (yang mungkin bermanfaat juga digunakan di sektor lain), salah satunya: iPod

Mazzucato (2013)

iPod tidak lahir dari ‘ruang kosong’ atau hanya berasal dari laboratorium di Apple Headquarters saja. Pada awalnya, teknologi mutakhir nya justru datang dari institusi-institusi tersebut. Mikroprosessor, SIRI, Micro Hard drive, dan Internet justru didapat dari DARPA, yang mana merupakan lembaga riset di bidang militer. Liquid-crystal display alias LCD, lahir dari adaptasi NSF, DoD, dan NIH yang merupakan institut riset di bidang kesehatan.

Dari sini, dapat kita temukan bahwa teknologi-teknologi tersebut gak lahir dari perspektif de-risking, fixing market, dan sebagainya. Melainkan dari paradigma yang welcoming unvertainty, creating market, yang memiliki orientasi misi, dan paradigm itulah yang perlu diterapkan oleh angels dalam financing technological progress.

Saves the best bite for last

Meski demikian, menurut saya masih terdapat research gap terkait bagaimana pembiayaan yang dapat dilakukan oleh engara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki ruang fiskal yang jauh lebih kecil. FYI, contoh-contoh yang disampaikan sebelumnya (yang berasal dari Mazzucato), kebanyakan berdasarkan bukti empirik dari perkembangan teknologi di AS.

Sedangkan bagaimana agar negara berkembang dapat menjadi technological frontier, sekaligus menciptakan lanskap baru ilmu pengetahuan yang tentu efek multiplier-nya terasa di berbagai sektor ekonomi: menciptakan lapangan kerja baru, menyelesaikan permasalahan lokal yang kompleks, and last: enabling new wealth and progress to human beings.

Yang pasti adalah: perkembangan teknologi dan inovasi (sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi di jangka Panjang) membutuhkan state capabilities yang matang, dan institusi yang kuat. Institusi yang kuat, yang memiliki perlindungan akan hak milik, persaingan yang sehat, dan tiada korupsi besar kemungkinan akan melahirkan insentif yang baik, yang kelak menggerakkan masyarakat untuk berinovasi. Kita dapat belajar dari pengaruh institusi terhadap GDP per kapita, antara Korea Utara, dan Korea Selatan:

Acemoglu (2004)

Pengalaman menarik antara kedua negara tersebut, tentu perlu menjadi pembelajaran yang baik bagi kita semua.

--

--