Learning Loss and The Future Employment: Exploring The Covid Aftermath

Fatah, Muhammad Husni Abdul
5 min readAug 29, 2021

--

Photo by Jeswin Thomas on Unsplash

Masa-masa bersekolah merupakan masa yang menciptakan berbagai kenangan. Terdapat banyak kenangan berwarna yang terjadi pada tiap jenjangnya. Seperti berebut penghapus dengan teman, kegugupan menjelang ujian akhir, bermain basket dikala guru mengganti jadwal kelas dengan rapat, hingga bercengkrama dengan teman-teman membicarakan gadis paling cantik nan jelita. Semua itu memberikan kenangan indah di masa dewasa.

Akan tetapi, adanya pandemi membuat kenangan tersebut seakan-akan menjadi sebuah utopia. Kisah kasih yang banyak alumni ceritakan seakan menjadi kenangan mereka, seakan-akan siswa yang kini bersekolah tidak boleh merasakannya. Interaksi menjadi terbatas, komunikasi menjadi terhambat, persahabatan mendapatkan sebuah rintangan.

Sedangkan unsur utama dari bersekolah, yakni adanya transfer pengetahuan pun terhambat. Secara terpaksa, kegiatan pembelajaran menjadi beralih kepada daring, alias pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Pembelajaran jarak jauh, rupanya tidak dapat menggantikan efektifitas pembelajaran langsung alias tatap muka. Hal ini mengarahkan pada sebuah situasi yang disebut learning loss. Apabila permasalahan ini tidak diselesaikan segera, maka para pelajar berpotensi untuk kehilangan kompetensi yang dimilikinya.

Akibatnya, di jangka panjang para pekerja kehilangan daya saingnya, sehingga berpotensi mengurangi potensi pendapatannya. Kesejahteraan menjadi semakin jauh di depan mata.

Pada makalah ini, penulis bertujuan untuk membahas bagaimana learning loss berpotensi memberikan dampak pada ketenagakerjaan di masa depan. Pembahasan diawali dengan bagaimana situasi pendidikan sebelum pandemi dan bagaimana pendidikan berpengaruh pada ketenagakerjaan, setelahnya penulis ingin membahas bagaimana learning loss mempengaruhi kualitas pendidikan yang ada dengan melihat kondisi saat ini, yang mempengaruhi implikasi learning loss di masyarakat sehingga mempengaruhi pendapatan di masa depan. Pembahasan ditutup, dengan bagaimana langkah mitigasi dampak learning loss tersebut.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pendapatan di masa depan. Ia merupakan faktor yang memberikan kemampuan dan kapasitas yang unik bagi para pekerja ketika mereka memasuki pasar ketenagakerjaan. Dengan menawarkan keahliannya, para pekerja dapat menerima upah Sebagai timbal baliknya. Secara umum, studi yang dilakukan untuk mengestimasikan tingkat pengembalian dari bersekolah adalah sebagai berikut:

Borjas, George J. 2016. Labor Economics. Boston: McGraw-Hill/Irwin.

Secara teoritis persamaan regresi ekonometrika tersebut menggambarkan, bahwa w adalah upah pekerja, dipengaruhi oleh s yakni durasi bersekolah pekerja tersebut, dan koefisien b berupa persentase perbedaan upah antara dua pekerja yang berbeda (bisa disebabkan karena perbedaan abilitas yang didapat dari pendidikan yang dipilih) dalam satu tahun sekolah yang sama, dengan menganggap variabel lain konstan.

Singkat kata, upah yang diterima dipengaruhi oleh seberapa lama pekerja tersebut mengenyam pendidikan, dan kemampuan apa yang diterima dari pendidikan tersebut.

Sedangkan secara empirik, telah banyak studi yang menggambarkan bagaimana bersekolah dapat meningkatkan pendapatan di masa depan. Salah satu kebijakan di Indonesia, program INPRES, yang meningkatkan partisipasi sekolah dari 69 persen di 1973 menjadi 83 persen di 1978 terbukti menciptakan peningkatan pendapatan. Pendidikan yang diterima, telah memberikan timbal balik ekonomi berupa peningkatan upah, yang diestimasikan sebesar 6.8 hingga 10.6 persen.

Perbandingan Performa Pelajar Indonesia dengan rata-rata negara OECD

Meskipun demikian, meningkatnya partisipasi belajar belum tentu meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Kualitas keluaran pendidikan yang ada di Indonesia selama ini dikenal lebih rendah, ketimbang rata-rata negara OECD, berdasarkan survei PISA (Programme for International Student Assessment).

Selain itu, ditemukkan di Indonesia bahwa terdapat reduksi dalam pembelajaran selama 14 tahun terakhir (studi 2000 hingga 2014), yang mana rata-rata anak kelas 7 di tahun 2014 memiliki keterampilan numerasi yang sama dengan rata-rata anak di kelas 4 pada tahun 2000. Hal ini dapat menggambarkan, bahwa kualitas pendidikan di Indonesia, terutama di bidang berhitung, mengalami penurunan.

Kondisi ini kemudian diperparah oleh adanya pandemi. Pandemi yang memaksa sekolah ditutup demi menghentikan penyebaran virus, menyebabkan adanya disrupsi dalam pendidikan. Mengakibatkan pendidikan menjadi terbatas akibat sekolah ditutup, dan memicu adanya learning loss. Tanpa adanya intervensi khusus, fenomena ini berpotensi menyebabkan individu kehilangan pendapatan sekitar $16,000 sepanjang hidupnya. Kehilangan pendapatan tersebut merupakan present value dari kehilangan $875 pertahun, selama masa kerjanya.

Akses Siswa Pada Internet Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Desil Pendapatan

Selain itu, adanya perbedaan kelas sosial yang ada di masyarakat, berpotensi menciptakan masa depan yang semakin timpang dalam hal pendapatan. Sebagaimana diketahui, bahwa pembelajaran hari ini sangat ditopang oleh adanya akses internet. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat internet seakan menjadi barang primer.

Lebih lanjut terdapat korelasi yang kuat antara akses internet siswa, dengan pendapatan orang tuanya. Pada tingkat pendidikan dasar, 22 persen siswa yang terkelompokkan berada dalam kondisi termiskin masih memiliki akses terhadap internet, dan meningkat menjadi 67 persen pada siswa yang berada pada kondisi teratas dalam hal pendapatan kedua orang tuanya (Household Income). Sedangkan pada tingkat pendidikan menengah, akses internet pada golongan terkaya lebih tinggi hampir 50 persen ketimbang siswa yang berada di golongan termiskin (97 persen dan 65 persen).

Digital Divide tersebut berpotensi menciptakan ketimpangan pendapatan yang lebih besar di masa depan. Masyarakat kalangan atas, yang memiliki akses internet lebih baik, memiliki keunggulan untuk dapat memanfaatkan akses internet untuk kegiatan yang lebih produktif, dan memiliki kesempatan lebih untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, atau bekerja dari rumah. Sedangkan masyarakat kelas bawah, kesempatan tersebut semakin rendah. Akses internet tidak terjangkau, sehingga dapat mengurangi probabilitas adanya mobilitas sosial keatas.

Menanggapi permasalahan tersebut, dibutuhkan intervensi lebih. Pembelajaran daring, dapat membuka berbagai kesempatan, seperti adanya kursus daring, hingga terbukanya informasi yang lebih luas. Akan tetapi keterbatasan akses internet tersebut telah menjadi sebuah masalah. Mengulangi tahun ajaran pun bukan solusi yang tepat, karena membuat siswa tidak termotivasi belajar.

Secara empirik, opsi terbaik mengejar ketertinggalan akademik adalah membuat kelompok les, yang terdiri atas grup belajar yang kecil.

Kelompok kecil, seperti one-on-one tutoring dan pelaksanaan summer school seperti matrikulasi di semester pendek, memiliki efektifitas lebih untuk mengejar ketertinggalan belajar. Agar efektif, diperlukan program dengan kurikulum yang lebih fokus, menargetkan siswa yang memerlukan pendalaman materi lebih lanjut, serta adanya evaluasi berkala terkait dengan efektifitas dan keluaran pembelajaran.

Akhir kata, bencana yang dirasakan hari ini telah menciptakan berbagai disrupsi di bangku pendidikan, yang kelak mempengaruhi lapangan pekerjaan di masa depan. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi lebih besar untuk menanggapi permasalahan tersebut.

Tulisan ini, merupakan karangan penulis yang ditujukan sebagai makalah akhir semester mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan — FEB UI

--

--