Revitalisasi Industri Manufaktur di Indonesia

Fatah, Muhammad Husni Abdul
6 min readNov 24, 2020

--

fotonya ambil dari canva, terus edit2 dikit.

Based on tugas kombis:)

Ibarat luka yang memberikan bekas, krisis moneter 1998 telah memberikan luka bagi Indonesia. Krisis yang disebabkan karena utang luar negeri yang terlalu besar (Tarmidi, 2003) telah menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh akibat overshooting dollar AS, sehingga memicu krisis berkepanjangan. Selain dari itu, World Bank melihat bahwa terdapat empat sebab yang menyebabkan krisis ini menuju arah kebangkrutan, pertama ialah adanya akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari 1992 hingga Juli 1997, menyebabkan 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini dengan jatuh tempo rata-rata hanya 18 bulan. Kedua, lemahnya sistem perbankan. Ketiga, permasalahan pada pemerintahan, termasuk kemampuan pemerintah menghadapi krisis. Menyebabkan pemerintah kehilangan kepercayaan dan memicu krisis berkepanjangan. Keempat adalah ketidakpastian politik menghadapi pemilu dan pertanyaan terkait kesehatan Soeharto kala itu (World Bank, 1998)

Hal ini menyebabkan krisis berkepanjangan. Pengangguran meningkat, krisis politik tidak terhindarkan. Ramai-ramai mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran, menyebabkan tumbangnya presiden yang telah menjabat selama 32 tahun. Selain itu, dampak dari krisis ini salah satunya pada sektor penunjang perekonomian Indonesia, yakni industri manufaktur. Krisis tersebut, menyebabkan pertumbuhan sektor ini jatuh sebesar 11,437% (pertahun), dan geliat pertumbuhan sektor ini masih tidak sebesar sebelum krisis 1998.

Geliat pertumbuhan sektor ini, terhambat hingga hari ini. Padahal, sebelumnya Indonesia beserta negara-negara asia lainnya seperti Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Taiwan (China), dan Thailand digolongkan sebagai ‘East Asian Miracle’ alias Keajaiban Asia Timur (Corden et al., 1993). Ialah negara-negara dengan performa ekonomi yang menarik, dan Indonesia digolongkan sebagai The newly Industrializing Economies, bersama dengan Thailand dan Malaysia (Corden et al., 1993)

Secara garis besar, penulis berusaha memamparkan apa yang diperlukan untuk merevitalisasikan sektor industri di Indonesia, dengan metodologi penelitian secara kualitatif berupa tinjauan pustaka. Sistematika penulisan pada tulisan ini diawali dengan pemaparan kondisi sektor industri manufaktur. Kemudian dilanjutkan dengan tinjauan peluang dan tantangan bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor industrinya, dan bagaimana kebijakan yang diperlukan untuk merevitalisasikan industri manufaktur di Indonesia.

Profil Sektor Manufaktur di Indonesia

Sektor manufaktur merupakan sektor yang memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan domestik bruto (PDB) Indonesia. Sektor ini menjadi salah satu salah satu tulang punggung bagi perekonomian Indonesia, yang memberikan sumbangsih pada 18,5 juta tenaga kerja di Indonesia (Katadata, 2020). Sebagai bukti, sektor ini memberikan kontribusi sebesar 20% dari keseluruhan PDB Indonesia pada kuartal 1 tahun 2019. Contoh lain ialah berdasarkan grafik dibawah ini, bahwa persentase pertumbuhan sektor ini memiliki korelasi positif dengan persentase pertumbuhan PDB antar waktu.

Grafik 1. World Bank, 2020 (telah diolah kembali)

Berdasarkan grafik diatas, persentase pertumbuhan PDB berkorelasi positif dengan persentase pertumbuhan nilai tambah manufaktur. Dapat kita lihat, bahwa pada tahun 1983 terdapat kenaikan persentase nilai tambah pada kisaran 22% yang juga diikuti dengan pertubuhan PDB pada kisaran 7%. Karena pesatnya pertumbuhan inilah, Indonesia beserta beberapa negara lain di asia digolongkan sebagai ‘East Asia Miracle’.

Akan tetapi, situasi krisis ekonomi yang diikuti oleh krisis politik di Indonesia menyebabkan berbagai pencapaian pertumbuhan yang ada sebelumnya terhenti. Merujuk pada grafik diatas, persentase pertumbuhan PDB tahunan jatuh dari kisaran 5% ditahun sebelumnya, kemudian menjadi -13% di tahun 1998. Lebih lanjut, pertumbuhan nilai tambah manufaktur juga jatuh dari kisaran 5% ditahun sebelumnya, kemudian menjadi sekitar -11%. Pada periode setelah krisis 1998, sektor ini kemudian mencoba bangkit kembali. Akan tetapi, pertumbuhannya tidak secepat pada periode sebelum krisis 1998. Baik pertumbuhan PDB dan pertumbuhan nilai tambah manufaktur, keduanya tidak mencatatkan pertumbuhan diatas 8% sebagaimana sebelum krisis 1998.

Menurut World Bank (2012), hampir semua sub-kategori dari manufaktur mengalami berkurangnya pertumbuhan, terutama industri yang berorientasi pada ekspor. Sedangkan meningkatnya harga komoditas menyebabkan fokus perekonomian Indonesia beralih menjadi berbasiskan komoditas dan jasa. Hal ini menyebabkan terjadinya deindustrialisasi prematur. Ialah terjadinya transisi ekonomi sebuah negara dari sektor manufaktur menuju sektor jasa, sebelum sektor manufaktur tersebut beroperasi secara maksimal, sehingga mengakibatkan ketimpangan meningkat, kapasitas inovasi berkurang, dan hilangnya pekerjaan (Rodrik, 2016).

Peluang dan Tantangan Revitalisasi Manufaktur

Dalam upaya menghidupkan sektor industri dari deindustrialisasi prematur, Indonesia memiliki beberapa peluang dan tantangan. Meskipun sektor ini terdampak paska krisis, masih ada kesempatan dan peluang untuk tetap bangkit kembali. Temuan dari Winkler dan Farole (2012) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan berupa akses terhadap bahan baku mentah, besarnya pasar domestik, dan integrasi regional.

Meskipun demikian, revitalisasi sektor ini mendapatkan tantangan dari tingkat inovasi yang Indonesia yang cenderung rendah. Margiansyah (2017) menyebutkan bahwa rendahnya tingkat pengembangan inovasi merupakan sebab utama dari lambannya perkembangan industri di Indonesia, yang direpresentasikan dari pertumbuhan produktifitas yang rendah. Selain itu, berdasarkan Global Innovation Index 2020, daya saing inovasi Indonesia berada pada peringkat 85 dari 131 negara (Cornell University et al., 2020).

Rendahnya daya saing tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan (Cornell University et al., 2020), sebab pertama adalah pada kategori pendidikan, yakni rendahnya kemampuan matematika membaca, dan sains yang digambarkan dari skor PISA serta rendahnya pendanaan riset dan pendidikan dari pemerintah, dan rendahnya kualitas artikel ilmiah yang dihasilkan. Sebab kedua adalah lingkungan regulasi yang tidak mendukung adanya inovasi, dan rendahnya penanaman modal asing. Kedua sebab tersebut menyebabkan tingkat inovasi di Indonesia rendah, dan berdampak pada kapasitas industri manufaktur yang Indonesia miliki.

Kebijakan Industri untuk Sektor Manufaktur

Dalam upaya untuk merevitalisasikan sektor manufaktur, diperlukan kebijakan yang tepat. Cherif dan Hasanov (2019) menekankan tiga prinsip dari kebijakan industri: Pertama, Intervensi negara untuk memperbaiki kegagalan pasar yang menghalangi kemunculan industri kaya teknologi. Kedua, berorientasi pada ekspor. Terakhir, adanya akuntabilitas ketat dalam hal persaingan.

Berkaitan dengan intervensi pemerintah, yang dimaksud oleh Cherif dan Hasanov (2019) ialah intervensi yang dilakukan pemerintah agar industri dan produsen dalam negeri tidak tertinggal dalam hal teknologi. Seperti meningkatkan anggaran riset dan pengembangan hingga kerjasama antar pemerintah-swasta dalam pengembangan teknologi. Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya oleh Margiansyah (2017), bahwa pengembangan teknologi merupakan kunci utama dalam revitalisasi sektor manufaktur, yang mengarahkan pada pertumbuhan produktifitas.

Selanjutnya terkait orientasi ekspor. Cherif dan Hasanov (2019) mengambil pelajaran dari kegagalan kebijakan industri pada 1960–1970, yakni kerangka industri yang berfokus pada produksi substitusi impor, alih-alih berorientasi pada ekspor. Kerangka orientasi industri yang berfokus pada substitusi impor, pada awalnya memang memberikan “ilusi-swasembada”, akan tetapi rentan ketika menghadapi goncangan eksternal. Sedangkan akuntabilitas ketat, ialah tidak adanya politik rente yang merugikan sesama perusahaan, baik dalam industri yang berbeda maupun dalam sektor yang sama.

Kesimpulan

Sektor manufaktur merupakan sektor yang memiliki andil besar dalam perekonomian Indonesia, dengan kontribusi sebesar 20% pada kuartal 1 tahun 2019. Meski demikian, terjadi deindustrialisasi prematur, yang salah satu sebabnya adalah krisis 1998. Dengan andil besar pada perekonomian, sektor ini perlu untuk direvitalisasikan kembali, agar roda perkonomian dapat berjalan lebih baik kembali. Melalui metode tinjauan pustaka, penulis berusaha memaparkan bagaimana Langkah untuk merevitalisasikan sektor ini.

Terdapat peluang dan tantangan terkait revitalisasi sektor manufaktur. Peluang yang Indonesia miliki berupa keunggulan berupa akses terhadap bahan baku mentah, besarnya pasar domestik, dan integrasi regional. Sedangkan Indonesia memiliki tantangan, yakni rendahnya inovasi dan pengembangan teknologi yang mengakibatkan perkembangan produktifitas sektor ini terhambat.

Menghadapi peluang dan tantangan tersebut, kebijakan yang tepat diperlukan. Kebijakan tersebut berupa intervensi negara untuk memperbaiki kegagalan pasar yang menghalangi kemunculan industri kaya teknologi. berorientasi pada ekspor sehingga tidak rentan gejolak eksternal, serta adanya akuntabilitas ketat dalam hal persaingan, salah satunya dalam hal politik rente.

Referensi

Cherif, R., & Hasanov, F. (2019). The Return of the Policy That Shall Not Be Named: Principles of Industrial Policy. IMF Working Papers, 19(74), 1. https://doi.org/10.5089/9781498305402.001

Corden, W. M., Pack, H., MacDonald, L. [editor], Birdsall, N., Campos, E., Kim, C.-S., Stiglitz, J. E., Page, J., & Sabor, R. (1993, September 26). The East Asian miracle : economic growth and public policy : Main report. World Bank Policy Research Report. http://documents.worldbank.org/curated/en/1993/09/698870/east-asian-miracle-economic-growth-public-policy-vol-1-2-main-report

Cornell University, INSEAD, & WIPO. (n.d.). GLOBAL INNOVATION INDEX 2020 Who Will Finance Innovation? 13TH EDITION.

Katadata. (2020, September 8). Geliat di Sektor Manufaktur Indonesia . https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5f57180a53467/geliat-di-sektor-manufaktur-indonesia

Margiansyah, D. (2017). THE LIMITS OF INDUSTRIALIZATION IN POST-ORDE BARU INDONESIA : 7(2).

Rodrik, D. (2016). Premature deindustrialization. Journal of Economic Growth, 21(1), 1–33. https://doi.org/10.1007/s10887-015-9122-3

Tarmidi, L. (2003). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 1. https://doi.org/10.21098/bemp.v1i4.183

Winkler, D., & Farole, T. (2012). Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector. In Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector. World Bank. https://doi.org/10.1596/26719

World Bank. (1998). Indonesia in crisis: a macroeconomic update. https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/417411468771710432/indonesia-in-crisis-a-macroeconomic-update

World Bank. (2012). Picking up the Pace: Reviving Growth in Indonesia’s Manufacturing Sector. https://www.worldbank.org/en/news/feature/2012/10/10/picking-up-the-pace-reviving-growth-in-indonesia-manufacturing-sector

--

--